Welcome 2 my Blog

.......blog ini boleh d buka sama siapa aja ......
lw mo comment,mo baca 'n trserah lw dh....yg penting jgn lw rusak aj blog gw........

Selasa, 30 Oktober 2012

Air Supply - Goodbye

Air Supply - Goodbye

i can see the pain living in your eyes
and i know how hard you try
you deserve to have so much more
i can feel your heart and i sympathize
and i'll never criticize all you've ever meant to my life

[chorus]
i don't want to let you down
i don't want to lead you on
i don't want to hold you back
from where you might belong

you would never ask me why
my heart is so disguised
i just can't live a lie anymore
i would rather hurt myself
than to ever make you cry
there's nothing left to say but good-bye

you deserve the chance at the kind of love
i'm not sure i'm worthy of
losing you is painful to me

[chorus]
i don't want to let you down
i don't want to lead you on
i don't want to hold you back
from where you might belong

you would never ask me why
my heart is so disguised
i just can't live a lie anymore
i would rather hurt myself
than to ever make you cry
there's nothing left to say but good-bye

(chorus) you would never ask me why
my heart is so disguised
i just can't live a lie anymore
i would rather hurt myself
than to ever make you cry
there's nothing left to try
though it's gonna hurt us both
there's no other way than to say good-bye

PEMBENTUKAN INTEGRASI EKONOMI ASEAN (ASEAN Economic Community) SEBAGAI UPAYA PENYEIMBANG KEKUATAN EKONOMI CHINA DI ASIA TENGGARA



 Latar Belakang
Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) yang pada awal pembentukannya pada tahun 1967,[1] lebih ditujukan pada kerjasama yang berorientasi politik untuk mencapai perdamaian dan keamanan di kawasan Asia Tenggara, dalam perjalanannya berubah menjadi kerjasama regional dengan memperkuat semangat stabilitas ekonomi dan sosial di kawasan Asia Tenggara, antara lain melalui percepatan pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial dan budaya dengan tetap memperhatikan kesetaraan dan kemitraan, sehingga menjadi landasan untuk terciptanya masyarakat yang sejahtera dan damai.
Sejak awal didirikan ASEAN bercita-cita mewujudkan Asia Tenggara bersatu sehingga keanggotaan ASEAN terus mengalami perluasan menjadi sepuluh negara anggota  yaitu Filipina, Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Brunei Darussalam tahun 1984, Vietnam tahun 1995, Laos tahun 1997, Myanmar tahun 1997, dan Cambodia tahun 1999. Pada saat yang bersamaan kawasan Asia Tenggara menghadapi persoalan-persoalan baru yang muncul baik secara internal maupun eksternal.
Pada tahun 1990-an, terdapat 3 dinamika eksternal yang mempengaruhi perkembangan ASEAN:[2]
1.         Kondisi eksternal perekonomian dunia yang semakin terbuka seiring era globalisasi sepanjang dekade 1980-an juga berimbas pada perekonomian negara-negara ASEAN. Di tengah iklim perekonomian global yang semakin liberal dengan hambatan perdagangan dunia yang semakin berkurang mendorong negara-negara ASEAN untuk menyesuaikan diri. Era proteksi industri substitusi impor ASEAN telah berlalu. Negara-negara ASEAN mulai melakukan penyesuaian terhadap orientasi kebijakan perdagangan yang semula berorientasi ke dalam menjadi keluar. Hasilnya, industri manufaktur ASEAN semakin berkembang dan memiliki peran yang sangat penting dalam struktur ekspor ASEAN. Seiring dengan itu tumbuh pula perdagangan intra-industri di ASEAN. Tuntutan untuk melakukan liberalisasi perdagangan di ASEAN juga tidak terlepas dari tekanan dunia internasional, khususnya IMF dan Bank Dunia.[3]
2.         Perkembangan ekonomi dunia lainnya pada tahun 1990-an yang juga mewarnai perjalanan ASEAN adalah bangkitnya perekonomian China. Dengan jumlah penduduk China yang besar dan dengan produktifitas yang tinggi, menjadi ancaman bagi ASEAN terutama sebagai pesaing dalam menarik investor asing dan tujuan pasar. Perlahan, beberapa investasi asing yang selama ini berada di ASEAN mulai melirik potensi China tersebut, yang dalam beberapa hal juga telah melakukan relokasi industri ke China. Di samping itu integrasi ekonomi yang terjadi di Eropa (Economic Union) dan Amerika Utara (NAFTA) juga menjadi ancaman tersendiri bagi ASEAN yang menyebabkan kekhawatiran akan terjadinya pengalihan  perdagangan dan investasi dunia dari ASEAN ke kawasan tersebut.[4]
Pengaruh kekuatan ekonomi China tersebut semakin meningkat setelah China bergabung menjadi anggota World Trade Organization (WTO) pada tahun 2001.[5] Pertumbuhan ekonomi yang cepat dari China tersebut membuka peluang bagi negara-negara di kawasan ASEAN mendapatkan akses pasar, teknologi, dan informasi dari negara-negara yang lebih maju. Peluang-peluang ini hanya akan dapat diraih jika ASEAN memiliki daya saing yang tinggi. Negara-negara ASEAN harus meningkatkan daya saing mereka antara lain dengan mengintegrasikan perekonomian Asia Tenggara menjadi satu entitas ekonomi yang secara kualitas dan kwantitas dapat bersaing di pasar internasional. Globalisasi perdagangan mengakibatkan liberalisasi lintas barang dan jasa menjadi tidak terbatasi. Dalam hal ini faktor tersebut bisa dimanfaatkan oleh China sehingga mengakibatkan kedua negara tersebut menjadi pionir di dalam perdagangan Internasional khususnya dikawasan Asia.[6]
Ekonomi China tumbuh begitu cepat dalam perdagangan global dan manufaktur. Antara 1985-2003, Pertumbuhan ekonomi riil China tumbuh secara konsisten yaitu dengan rata-raa pertumbuhan 9% setiap tahunnya. Pada 2004, pangsa perdagangan global Cina mencapai sekitar 6%. Pada tahun 2005, China sudah melesat melampaui sebagian besar negara Eropa dalam ukuran ekonomi, dan mengambil alih peran Jepang sebagai pedagang tingat dunia.[7]
China berusaha untuk memperluas kehadiran dan pengaruh strategis terhadap lingkungan dekat mereka sebagai akibat terhadap pertumbuhan kekuatan ekonomi mereka. Keduanya mencari keterlibatan peran yang lebih luas dengan negara lain baik secara regional maupun global. Minat China di Asia Tenggara didorong oleh pengejaran kepentingan dan memperoleh keuntungan. Dengan kekuatan yang sedang meningkat, China mencari peluang yang lebih besar melalui multilateralisme dan kerjasama regional. Mereka melihat ASEAN dan Negara-negara Asia Tenggara penting untuk kepentingan strategis mereka terutama dalam hal perdagangan dan investasi. Keterlibatan dan partisipasi dalam proses regional seperti ASEAN,  Asia-Europe Meeting (ASEM), Forum Regional ASEAN (ARF), ASEAN Plus Tiga (APT) dan KTT Asia Timur (EAS) adalah sangat penting dengan tujuan untuk memperoleh manfaat dari kerjasama regional,  membangun kekuatan yang lebih besar, memainkan peranan, serta menjaga keseimbangan.
Hubungan dialog antara ASEAN dan China dapat ditelusuri kembali ke tahun 1991 ketika China pertama kali menghadiri sesi pembukaan 24th Pertemuan se-Tingkat Menteri negara-negara ASEAN (AMM) di Kuala Lumpur, Malaysia, sebagai tamu Pemerintah Malaysia. Selanjutnya, China menjadi mitra konsultatif dan kemudian mitra dialog penuh pada ertemuan se-Tingkat Menteri negara-negara ASEAN (AMM) Ke-29th pada bulan Juli 1996 di Jakarta, Indonesia.[8]
3.         Kesepakatan integrasi regional (RIAs) telah menjadi isu penting dalam ranah integrasi ekonomi. Dalam integrasi ekonomi akan dijumpai dua kepentingan yang saling berlawanan yaitu antara mendorong perdagangan dan membatasi perdagangan pada saat bersamaan. Integrasi ekonomi dilakukan dengan melakukan liberalisasi perdagangan antara negara yang berpartisipasi dalam integrasi, namun pada saat yang sama juga meneraapkan berbagai hambatan baik tarif maupun non-tarif kepada negara ketiga atau negara diluar anggota. Kebijakan liberalisasi maupun kesepakatan integrasi tersebut digunakan sebagai alat untuk mendapatkan akses pasar yang lebih luas dan mendorong pertumbuhan dalam rangka meningkatkan kemakmuran. Didasari keyakinan tersebut, sekaligus untuk memperkuat daya saing  kawasan dalam menghadapi kompetisi global dan regional, negara-negara di kawasan Asia Tenggara yang tergabung dalam forum ASEAN telah menyepakati untuk meningkatkan proses integrasi diantara mereka melalui pembentukan ASEAN Economic Community (AEC) atau Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015.

Peningkatan ekonomi Cina juga telah mendorong ulang realisasi untuk negara-negara ASEAN agar mereka dapat merestrukturisasi dan mengintegrasikan ekonomi dalam rangka untuk mempertahankan daya saing mereka. Kehilangan daya saing ekonomi terhadap negara seperti China telah menjadi pendorong utama dalam upaya ASEAN untuk mempercepat integrasi ekonomi. Suatu studi mengenai ASEAN yang dilakukan oleh McKinsey and Co. beberapa tahun lalu menemukan bahwa ASEAN telah kehilangan daya saing ke China.[9] Ini menjadi semakin jelas dalam beberapa tahun terakhir, seperti China menyusul ASEAN sebagai negara berkembang peringkat utama untuk penanaman modal asing langsung (FDI). Sementara itu, jaringan produksi internasional dan rantai pasokan global berpikir ulang untuk memperhitungkan ekspansi ekonomi dan industrialisasi China yang tumbuh dengan pesat. Perkembangan tersebut akan berakibat serius pada kesejahteraan ekonomi ASEAN dalam jangka panjang jika ASEAN tetap tidak kompetitif.[10]
ASEAN sendiri secara intensif dari awal pembentukannya telah meyepakati berbagai macam kesepakatan dalam bidang ekonomi seperti, Indusrtial Project Plan (1976), Preferential Tarding Area/PTA (1977), ASEAN Industial Complement Scheme (1981), ASEAN Joint Venture Scheme (1981) dan Enhanced Preferential Trading Arrengement (1987). Pada akhir 90-an, Negara-negara ASEAN menyadari bahwa cara terbaik dalam kerjasama ekonomi adalah membuka perekonomian mereka untuk menciptakan integrasi kawasan.[11] ASEAN kemudian menyepakati ASEAN Vision 2020 pada tahun 1997 untuk mewujudkan kawasan yang stabil, makmur dan berdaya saing tinggi dengan membangun ekonomi yang merata.[12]
Rencana jangka panjang pembentukan Masyarakat ASEAN ini terdiri dari tiga pilar, yaitu ASEAN Economic Community (AEC), ASEAN Security Community (ASC), dan ASEAN Sosio-Cultural Community (ASCC). Dari sisi kerjasama ekonomi, visi tersebut diwujudkan melalui strategi pengembangan ekonomi yang sejalan dengan aspirasi bangsa, dengan tujuan utama mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan dan merata, serta mendukung ketahanan individu negara anggota maupun kawasan. Konsep pelaksanaan dalam enam tahun pertama dipandu dengan Hanoi Plan of Action (HPA) yang dikeluarkan pada 1998.
Untuk memperkuat langkah percepatan percepatan integrasi tersebut, ASEAN melakukan kerjasama ekonomi dengan meletakkan sebuah kerangka hukum yang menjadi basis komitmen negara ASEAN melalui penandatanganan Piagam ASEAN (ASEAN Charter) pada KTT ASEAN ke-13, 20 November 2007. Bersamaan dengan penandatangan Piagam ASEAN, cetak biru yang merupakan arah panduan MEA dan jadwal strategis tentang waktu dan tahapan pencapaian pilar juga disepakati. Selanjutnya komitmen tersebut menjadi arah pencapaian MEA ke depan baik bagi ASEAN secara kawasan maupun individu negara anggota. Masing-masing negara berkewajiban menjaga komitmen tersebut sehingga kredibilitas ASEAN semakin baik di masa depan. Secara khusus ASEAN bertekad akan mengamankan kepentingan bersama yang dilakukan secara berkesinambungan dalam mengantisipasi pembentukan kelompok ekonomi negara-negara maju, terutama dengan mendorong pembentukan kawasan ekonomi terbuka dan merangsang kerjasama ekonomi di kawasan ASEAN.
Dalam bidang ekonomi telah ditandatangani dua buah dokumen penting yang akan menjadi dasar bagi perkembangan ekonomi ASEAN di masa mendatang. Kedua dokumen yang ditandatangani oleh para menteri ekonomi ASEAN adalah Framework Agreement on Enchanging ASEAN Economic Cooperation and Basic Agreement on the Common Effective Preferential Tariff for the ASEAN Free Trade Area (CEPT-AFTA). Framework kerjasama ini merupakan landasan baru bagi perekonomian ASEAN terutama kesepakatan untuk membentuk perdagangan bebas hambatan ASEAN yang berlaku penuh pada tahun 2008.[13] Melalui Cetak Biru Masyarakat Ekonomi ASEAN, persetujuan CEPT-AFTA akan dikaji ulang dan ditingkatkan menjadi suatu perjanjian yang komprehensif dalam merealisasikan aliran bebas barang, serta dapat diterapkan sesuai kebutuhan ASEAN untuk mempercepat proses integrasi ekonomi menuju tahun 2015.[14]
China telah tampil sebagai the new miracle of Asia, sejajar dengan negara-negara  the big economic of Asia seperti Jepang, Singapura, Korea Selatan, Taiwan, dan Hongkong, yang pernah disebut-sebut sebagai pusat keajaiban ekonomi Asia. Dalam pertemuan ASEAN di Phnom Penh, Kamboja, 2 September 2003, para politisi China coba mendekati negara-negara ASEAN dan menyampaikan keinginannya bergabung dengan AFTA sehingga menjadi ASEAN Plus Three. ASEAN sejak awal tahun 2003 telah menjadikan AFTA sebagai Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN. Potensi pasar ASEAN sendiri termasuk besarkarena didukung 530 juta penduduk yang memiliki tingkat daya beli yang cukup tinggi, dan beberapa negara, di antaranya Malaysia, Thailand, Indonesia, dan Filipina, mulai bangkit dari krisis ekonomi yang mereka alami tahun 1997.[15] Presiden Hu Jianto menyatakan “bahwa strategi baru perekonomian China adalah bagaimana menjadikan China sebagai pusat produksi, sedangkan distribusi dan konsumsi diupayakan diserahkan sepenuhnya ke pasar-pasar internasional dan ASEAN merupakan kawasan yang diprioritaskan China menjadi target utama barang-barang produksinya”.[16]

Rumusan Permasalahan
            Dari latar belakang diatas, maka penulis merumuskan permasalahan dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut: “Bagaimana upaya ASEAN membentuk Asean Economic Community sebagai langkah penyeimbang dominasi ekonomi China di Asia Tenggara?

Tujuan Penelitian
            Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran yang jelas mengenai proses pembentukan ASEAN Economic Community, langkah-langkah ASEAN dan dampak kebangkitan ekonomi China di ASEAN.

Manfaat Penelitian
a.                   Mengetahui tujuan dibentuknya ASEAN Economic Community dan proses pembentukannya AEC tersebut serta dapat mengetahui dampak dari kebangkitan ekonomi China di ASEAN.
b.                  Dapat memberikan pengetahuan dan menambah wawasan mengenai pembentukan AEC dan pengaruh kebangkitan ekonomi China di Asia Tenggara.
c.                   Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat membantu program studi Hubungan Internasional dalam memberikan informasi dan data yang terkait permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Seperti mengenai ASEAN, AEC dan pengaruh China di Asia Tenggara.

Tinjauan Pustaka
China’s Development and Prospect of ASEAN-China Relations,  Vietnamese Academy of Social Sciences Centre for ASEAN and China Studies (CACS) tahun 2006. Dalam tulisan ini menjelaskan tentang sejarah perkembangan kemajuan ekonomi China dan hubungan dialog yaang  terjadi antara China dan ASEAN semenjak pertama kalinya ketika China hadir sebagai tamu Pemerintah Malaysia dalam Pertemuan Menteri-Menteri ASEAN  (AMM) ke-24 di Kuala Lumpur sampai terbentuknya hubungan kerjasama antara kedua negara. Tulisan ini nantinya akan berguna untuk menjelaskan mengenai awal dari kedekatan China di ASEAN yang dibahas dalam bab II sesuai dengan gambaran dalam sistematika penulisan.
Selanjutnya, dalam tulisan yang berjudul “The ASEAN Community: Unblocking the Roadblocks”, Institute of Southeast Asean Studies Singapore, 2008. Tulisan ini menjelaskan mengenai perkembangan semenjak ASEAN dibentuk, dibutuhkan integrasi ekonomi ASEAN yang lebih mendalam. Hal ini hanya dapat diwujudkan jika ASEAN mempunyai cetak biru dalam mewujudkan dan meningkatkan kerjasama ekonomi regional ASEAN yaitu Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Pembahasan yang dibahas dalam tulisan ini nantinya akan menjadi bahan penulis dalam pembahasan mengenai awal mula gagasan pembentukan Asean Community dan alasan dari ASEAN membentuk AEC yang akan dibahas pada bab II.
Dalam tulisan selanjutnya berjudul “Menuju Komunitas ASEAN 2015: dari state oriented ke people oriented” yang ditulis oleh Ratna Shofi Inayati, Dewi Fortuna Anwar dan Ikrar Nusa Bhakti tahun 2007, yang membahas mengenai proses menuju masyarakat ASEAN 2015, sejalan dengan aspek ekonomi dalam ASEAN Vision 2020. Bagaimana cara merubah ASEAN dari a state oriented ke people oriented perlu untuk memfokuskan pada masyarakat ASEAN karena hal ini sering terabaikan dalam pembahasan tentang aktivitas ASEAN. Kualitas proses pembangunan di Asia Tenggara tidak hanya tergantung pada ruang lingkup dan keadaan dari upaya kerjasama diantara dan pemerintahan regional, tetapi juga pada tujuan moral yang mengarahkan dan memelihara proses tersebut. Sangat penting bagi ASEAN untuk memulai kesepakatan guna melangkah secara nyata dengan jadwal yang jelas untuk mengimplementasikan ASEAN Community. Tulisan ini akan digunakan sebagai salah satu bahan pada bab III untuk menjelaskan kesiapan ASEAN membentuk suatu community di Asia Tenggara dan bagaimana langkah ASEAN untuk menciptakan AEC di kawasan.




Kerangka Teori
Penelitian ini menggunakan kerangka teori dan konseptual dalam kajian ilmu ekonomi politik internasional yang menekankan pada konsep-konsep dalam perdagangan internasional, yaitu kerangka kerjasama regional dan integrasi regional.
Dalam strategi perdagangan internasional mengenai global market dan regionalisasi ekonomi dijelaskan bahwa dampak yang paling terasa terbentuknya pasar global adalah munculnya regionalisasi ekonomi. Dengan semaikin abu-abunya batas Negara, perekonomian regional akan naik ke permukaan. Kenichi Ohmae juga menjelaskan bahwa kawasan yang dulunya dianggap sebagai ‘perkumpulan Negara berkembang’ yang hanya dimanfaatkan oleh Negara-negara maju didalam perdagangan internasional, seperti Asia justru pada era global akan memegang supremasi atas kawasannya sendiri.[17]

Kerjasama Regional
Menurut Kym Anderson dan Richard Blackhurst, kerangka kerjasama regional (regional arrangement) dapat didefinisikan sebagai suatu proses untuk mengurangi otoritas politik nasional dalam suatu wilayah geografis tertentu.[18] Secara akademik tidak terdapat perspektif tunggal yang dapat diterima secara luas untuk menjelaskan motif-motif kerjasama regional. Marry Farrel misalnya, menyatakan bahwa terdapat dua premis dasar untuk memahami regionalisme. Pertama, regionalisme dipandang sebagai tanggapan terhadap globalisasi dan juga suatu reaksi terhadap aspek-aspek yang sangat beragam dari proses globalisasi. Kedua, regionalisme dipandang sebagai produk dari dinamika internal dari suatu kawasan.[19]
Menurut Lamberte, regionalisme mengacu pada kerjasama ekonomi formal dan pengaturan ekonomi dari sekelompok negara yang bertujuan untuk memfasilitasi atau meningkatkan integrasi regional.[20] “Regionalisme harus dibedakan dari regionalisasi, dimana "integrasi yang didorong pasar, didorong oleh sepihak reformasi dalam perekonomian individu dalam suatu wilayah tertentu”.[21] Berdasarkan literatur, regionalisasi juga mengacu pada tindakan membangun regionalisme melalui publik dan / atau usaha resmi. Menurut “Dictionary of Trade Policy”, regionalisme digambarkan sebagai tindakan oleh pemerintah untuk meliberalisasi atau memfasilitasi perdagangan secara regional, baik itu melalui area perdagangan bebas atau serikat pekerja.[22] Berdasarkan penjelasan tersebut maka, regionalisme ekonomi kira-kira dapat dipahami sebagai: a). langkah-langkah kerjasama ekonomi formal; b). dilakukan oleh pemerintah; c). memfasilitasi integrasi ekonomi regional; d). terbatas pada wilayah geografis. Dengan kata lain, regionalisme sekarang dapat secara luas dicirikan sebagai kecenderungan penciptaan pengaturan perdagangan preferensial antara jumlah negara yang terletak di tempat yang sama atau bahkan daerah yang berbeda.
Namun, proses liberalisasi perdagangan ini sangat berbeda dari proses yang dikendalikan pasar yang menjadi ciri khas kawasan di masa lalu. Sampai akhir 1990-an, peningkatan ekonomi yang bersifat saling ketergantungan (sebagai akibat dari pertumbuhan perdagangan intra-regional dan investasi) di kawasan berlangsung tanpa kerangka formal kerjasama ekonomi. Tren baru FTA adalah preferensial di bidang dan tempat-tempat yang lebih menekankan pada kerjasama ekonomi formal melalui perjanjian perdagangan antara dua Negara atau lebih.[23] Langkah terbaik bagi ASEAN dalam menghadapi kebangkitan China sebagai kekuatan besar (ekonomi) yang mempunyai kepentingan strategis di kawasan adalah dengan mengembangkan regionalisme multilateral melalui berbagai forum seperti ARF, ASEAN Plus Three (APT), dan East ASEAN Summit. Langkah ini dimaksudkan untuk membentuk suatu regionalisme terbuka insklusif (Open Regionalism) atas kerjasama fungsional.[24]
Regionalisme terbuka sendiri adalah bagian integral dari keberhasilan RTAs yang merupakan blok pembangun sistem perdagangan multilateral. "Regionalisme terbuka" didefinisikan sebagai memiliki karakteristik sebagai berikut: 1). Keanggotaan terbuka, dengan keanggotaan diperluas, yang didasarkan pada hubungan timbal-balik; 2). Komitmen anggota untuk menurunkan hambatan perdagangan eksternal sementara liberalisasi perdagangan secara internal pada dasar hubungan timbal-balik; 3). Dorongan untuk melakukan liberalisasi unilateral oleh anggota kepada anggota lain atau bukan anggota.[25] ASEAN sendiri telah menjadi pelopor hubungan dialog dengan sejumlah negara, termasuk Cina. Dan saat ini ASEAN lebih terbuka untuk berinisiatif membangun mitra dialog dalam kerja sama ekonomi dan sosial. Dalam bidang ekonomi, Cina dapat dihubungkan dengan AFTA melalui fasilitasi perdagangan.
ASEAN juga mencermati fakta ini dan sadar bahwa hal tersebut menjadi alasan yang logis untuk memasukkan China dalam kerangka regional dan dengan demikian, ASEAN dapat memanfaatkan keuntungan dari bangkitnya kekuatan ekonomi China tersebut. Salah satu tujuan dari Perjanjian Kerangka Kerjasama Ekonomi Komprehensif yang ditandatangani adalah untuk “memfasilitasi integrasi ekonomi yang lebih efektif dari negara-negara anggota ASEAN yang baru dan menjembatani kesenjangan pembangunan di antara kedua belah pihak”.

Integrasi Regional
Dalam integrasi ekonomi sendiri Bela Balassa, dalam Teori Integrasi Ekonomi, mendefinisikan integrasi ekonomi sebagai suatu proses dan keadaan: "Dianggap sebagai proses, hal itu meliputi tindakan yang dirancang untuk menghapus diskriminasi antara unit-unit ekonomi milik negara nasional yang berbeda; dipandang sebagai suatu keadaan, dapat diwakili oleh tidak adanya berbagai bentuk diskriminasi antara ekonomi nasional".[26]
Sedangkan Ernst Haas mendefinisikan integrasi sebagai suatu proses, yang mana dalam proses ini aktor-aktor politik dalam beberapa Negara dialrahkan pada kegiatan politik yang baru. Berdasrkan definisi Ernst Haas tersebut, Leon N. Lindberg menyimpulkan integrasi sebagai:
1.                  Proses tempat melepaskan keinginan dan kemampuan untuk menjalankan kebijakan dalam negeri dan luar negeri secara bebas satu sama lain, dan sebaliknya mencari keputusan-keputusan bersama dalam proses pembuatan kebijakan pada tempat yang baru.
2.                  Tempat proses actor-aktor dari beberapa Negara yang berbeda untuk mengalihkan harapan dan kegiatan-kegiatan pada tempat yang baru.[27]

Dengan demikian, integrasi regional merupakan suatu kecenderungan kea rah terciptanya unit-unit politik yang masing-masing dengan sadar meninggalkan penggunaan kekuatan dalam hubungan tersebut.[28] Terdapat dua hal yang menyebabkan terjadinya integrasi regional yaitu:[29]
1.                  Adanya nilai-nilai yang diterima secara meluas diantara anggota dan persetujuan umum mengenai kerangka kerja sistem.
2.                  Karena adanya ancaman dari luar kawasan.

Sementara itu, Hoffman membedakan integrasi regional dalam dua kelompok, yaitu:
1.                  Interaksi antar variable dari dalam integrasi (sesame Negara anggota) dengan variable dari luar (situasi internasional) disebut dengan dengan sebutan high politics.
2.                  Kepentingan-kepentingan umum dari startegi dan diplomasi suatu Negara menjadi dasar suatu pembentukan dan interaksi dilihat sebagai suatu kepentingan yang dapat dihitung secara ekonomis dan mewakili satu dimensi saja dari kehidupan antar bangsa, disebut dengan sebutan low politics.

Suatu Negara yang telah berhasil melakukan intgerasi di suatu sector cenderung untuk melakukannya lagi di sector-sektor lain. Hal ini terjadi karena Negara menikmati hasil dari manfaat integrasi tersebut. Adapun bentuk-bentuk dari intgerasi ekonomi adalah free trade area, customs union, common market, economic union, completes economic integration. Sedangkan kerjasama regional yang tidak bertujuan langsung mengintgrasikan pasar dan perekonomian Negara-negara anggotanya adalah merupakan organisasi kerjasama ekonomi regional (regional economic cooperation).[30]

Alur Pemikiran

Sejarah hubungan ASEAN-China sampai kerjasama ekonomi dan proses pembentukan AEC

Langkah-langkah dan upaya ASEAN untuk mewujudkan AEC

Dampak kebangkitan ekonomi China terhadap ASEAN dalam kerjasama ekonomi dan proses integrasi AEC




Operasionalisasi Konsep
Konsep
Variabel
Dimensi
Indikator
Kerjasama Regional
Pembentukan ASEAN Economic Community
-       Langkah-langkah pembentukan AEC


-       AEC Blueprint
-       Kerjasama ekonomi dengan China
-       Dampak kebangkitan ekonomi China di kawasan


Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yaitu pendekatan yang menekankan pada penarikan kesimpulan berdasarkan interpretasi terhadap fenomena maupun fakta. Adapun metode penelitian yang digunakan adalah metode studi kasus yang menggunakan teori untuk menganalisa dan menjawab permasalahan dan teknik pengumpulan data yang digunakan adalah penelitian kepustakaan (library research) dengan mengumpulkan data-data berupa buku, jurnal atau artikel, internet dan referensi dari penelitian lain yang sejenis.

Asumsi
            Dalam penulisan skripsi ini penulis berasumsi bahwa
a.                   Alasan pembentukan AEC adalah sebagai penyeimbang terkait kebangkitan ekonomi China di Asia Tenggara.
b.                  ASEAN melakukan kerjasama ekonomi dengan China untuk mempercepat proses intgrasi ekonomi Negara-negara anggota ASEAN.

Sistematika Penulisan
Bab I berisi mengenai latar belakang proses terbentuknya Asean Economic Community dan awal terjalinnya kerjasama antara ASEAN dengan China, rumusan permasalahan, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori, metode penelitian serta sistematika penulisan.
Bab II menjelaskan mengenai sejarah hubungan ASEAN-China dari tahun 1991 sampai 2010 dan langkah-langkah dan upaya ASEAN mewujdkan AEC.
Bab III menjelaskan mengenai kemajuan ekonomi China, kerjasama FTA ASEAN-China dan dampak kebangkitan ekonomi China di ASEAN terkait dalam pembentukan AEC.
Bab IV berisikan kesimpulan dari seluruh bab.



DAFTAR PUSTAKA

Buku dan Dokumen Resmi
ASEAN Document Series 1967-1985, ASEAN Secretariat, Jakarta, 1985.

Anderson, Kym dan Richard Blackhurst, “Introduction and Summary”,  Regional Integration and The Global Trading System, Harvester Wheatsheaf, 1993.

A.    Schwartz dan R. Villinger, “Integrating Southeast Asian Economies”, The McKinsey Quarterly, No. 1 (2004).

Ballassa, Bella, The Theory of Economic Integration, Homewood, Illinois: Richard D. Irwin Inc. 1961.

Chuvyers, Ludo dan Wisarn Pupphavesa. 1996. From ASEAN to AFTA, CAS Discussion Paper No. 46.

Cetak Biru Komunitas ekonomi ASEAN, yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN-DEPLU RI, 2009.

Engardio, Pete, “CHINDIA; Strategi China dan India menguasai Bisnis Global”, Penerbit PT Bhuana Ilmu Populer, 2007.

Farrel dan Bjorn Hettne (eds), Global Politics of Regionalism, London: Pluto Press, 2005.

Hew, Denis, Toward an ASEAN Economic by 2015, dalam The ASEAN Community: Unblocking the Roadblocks, Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS), Singapore, 2008.

James K. Dougherty dan Robert L. Pfaltegraff Jr, Contending Theories of International Relations, New York and Row Publisher, 1981.

Lamberte, Mario B., “An Overview of Economic Cooperation and Integration in Asiain Asian Development Bank, Asian Economic Cooperation and Integration: Progress, Prospects, and Challenges, Manila: Asian Development Bank, 2005.

Naya, S. dan Imada, P. (Eds). 1992. AFTA the Way Ahead, ISEAS, Singapore.

Ohmae, Kenichi, The End of the Nation State: The Rise of Regional Economies, London: Harper Collins Publ. 1995.

Soesastro, Hadi dan Clara Joewono (eds), The Inclusive Regionalist, Centre For Strategic And International Studies (CSIS), Jakarta, Indonesia, 2007.

Soesastro, Hadi, Implementing the ASEAN Economic Community Blueprint, dalam The ASEAN Community: Unblocking the Roadblocks, Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS), Singapore, 2008.

Taylor, Trevor, Approaches and Theory in International Relations, New York: Longman Inc. 1978.

Thongphane Savanphet, ASEAN-China Dialogue Relations: Present and Future, dalam  China’s Development and Prospect of ASEAN-China Relations (Summary Record of the Regional Seminar), by The Gioi Publishers, Vietnam, 2006.

Yusuf, Edi, dalam seminar  Komunitas Ekonomi Asean 2015 dan Implikasinya bagi Indonesia, Departemen Luar Negeri RI, di Universitas Indonesia, Jakarta, 12 Februari 2009.

Website
Financial Times, dikutip oleh Chalmers Johnsons. “No Longer the ‘Lone”Superpower: Coming to Terms with China”. Japan Policy Research Institute Working Paper No.105, Maret 2005. http:www.jpri.org/publications/working papers/wp 105.

WTO Secretariat, “Scope of RTAs”, online: www.wto.org/english/tratop_e/region_e/scope_rta_e.htm>.

C. Fred Bergsten, “Open Regionalism” Working Paper 97-3 (Washington D.C.: Institute for International Economics, 1997), online: http://www.iie.com/publications/wp/wp.cfm?ResearchID=152.




[1] ASEAN yang resmi terbentuk pada  tanggal 8 Agustus 1967 di Bangkok, Thailand adalah merupakan kerjasama regional didirikan oleh lima negara di kawasan Asia Tenggara yaitu; Filipina, Indonesia, Malaysia, Singapura dan Thailand berdasarkan kesepakatan ”Deklarasi Bangkok”  (ASEAN Declaration, Bangkok, 8 Agustus 1967), yang ditandatangani secara bersama-sama  dan isinya sebagai berikut : ”Membentuk suatu landasan kokoh dalam meningkatkan kerjasama regional di kawasan Asia Tenggara dengan semangat keadilan dan kemitraaan dalam rangka menciptakan perdamaian, kemajuan dan kemakmuran kawasan (ASEAN Document Series 1967-1985, ASEAN Secretariat, Jakarta, 1985, hlm. 2).
[2] Edi Yusuf, dalam seminar  Komunitas Ekonomi Asean 2015 dan Implikasinya bagi Indonesia, Departemen Luar Negeri RI, di Universitas Indonesia, Jakarta, 12 Februari 2009.
[3] Naya, S. Dan Imada, P. (eds). 1992. AFTA the Way Ahead, ISEAS, Singapore.
[4] Chuvyers, Ludo dan Wisarn Pupphavesa. 1996. From ASEAN to AFTA, CAS Discussion Paper No. 46.
[5] Financial Times, dikutip oleh Chalmers Johnsons. “No Longer the ‘Lone”Superpower: Coming to Terms with China”. Japan Policy Research Institute Working Paper No.105, Maret 2005. http:www.jpri.org/publications/working papers/wp 105.
[6] Ibid
[7] Pete Engardio, “CHINDIA; Strategi China dan India menguasai Bisnis Global”, Penerbit PT Bhuana Ilmu Populer, 2007, hlm. vii-viii.
[8] Thongphane Savanphet, ASEAN-China Dialogue Relations: Present and Future, dalam  China’s Development and Prospect of ASEAN-China Relations (Summary Record of the Regional Seminar), by The Gioi Publishers, Vietnam, 2006. Hlm. 33.
[9] A. Schwartz dan R. Villinger, “Integrating Southeast Asian Economies”, The McKinsey Quarterly, No. 1 (2004).
[10] Denis Hew, Toward an ASEAN Economic by 2015, dalam The ASEAN Community: Unblocking the Roadblocks, Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS), Singapore, 2008. Hlm. 16.
[11] Pada KTT ke-5 di Singapura tahun 1992 telah ditandatangani Framework Agreement Enchancing ASEAN Economic Cooperation bersama dengan Common Effective Preferential Tariff – AFTA Free Trade Area (CEPT – AFTA) (dalam skema CEPT setiap Negara dimungkinkan untuk tidak melakukan liberalisasi perdagangan sepanjang hal tersebut menurut pertimbangannya dapat membahayakan keamanan nasionalnya, moral masyarakat, kesehatan manusia, hewan dan tanaman, dan nilai-nilai seni, sejarah, purbakala dan arkeologi, dikutip dari Syamsul Arifin), kemudian pada tahun 1995 ASEAN juga mulai memasukkan bidang jasa dalam kesepakatan kerjasamanya dalam ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS) selanjutnya pada tahun 1998 disepakati kerjasama dalam bidang investasi dalam ASEAN Investment Area (AIA).
[12] ASEAN Summit, Kuala Lumpur, Malaysia, Desember 1997.
[13] Lihat framework Agreement on Enchanging economic Cooperation, Singapore, 1992
[14] Lihat Cetak Biru Komunitas ekonomi ASEAN, yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN-DEPLU RI, 2009.
[15] Charles Stein, “The Rise of China Inc”, Boston Globe (August 19, 2003).
[16] Ibid
[17] Kenichi Ohmae, The End of the Nation State: The Rise of Regional Economies, London: Harper Collins Publ. 1995, hlm. 4.
[18] Kym Anderson dan Richard Blackhurst,  Introduction and Summary” dalam Kym Anderson dan Richard Blackhurst,  Regional Integration and The Global Trading System, Harvester Wheatsheaf, 1993, hlm. 1.
[19] Lebih jauh lihat Marry Farrel, “The Global Politics of Regionalism: An Introduction”, dalam marry Farrel dan Bjorn Hettne (eds), Global Politics of Regionalism, London: Pluto Press, 2005, hlm. 120.
[20] Mario B. Lamberte, “An Overview of Economic Cooperation and Integration in Asiain Asian Development Bank, Asian Economic Cooperation and Integration: Progress, Prospects, and Challenges, Manila: Asian Development Bank, 2005, hlm, 4.
[21] Ibid
[22]Dictionary of Trade Policy” merupakan istilah yang dikembangkan oleh WTO, dalam WTO Secretariat, “Scope of RTAs”, online: www.wto.org/english/tratop_e/region_e/scope_rta_e.htm>.
[23] Denis Hew, Realizing The ASEAN Economic Community by 2015, dalam Hadi Soesastro dan Clara Joewono (eds), The Inclusive Regionalist, Centre For Strategic And International Studies (CSIS), Jakarta, Indonesia, 2007. Hlm. 278.
[24] Hadi Soesastro, Implementing the ASEAN Economic Community Blueprint, dalam The ASEAN Community: Unblocking the Roadblocks, Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS), Singapore, 2008, hlm. 33.
[25] C. Fred Bergsten, “Open Regionalism” Working Paper 97-3 (Washington D.C.: Institute for International Economics, 1997), online: http://www.iie.com/publications/wp/wp.cfm?ResearchID=152.
[26] Bella Ballassa, The Theory of Economic Integration, Homewood, Illinois: Richard D. Irwin Inc. 1961, hlm, 1.
[27] Integrasi menurut Haas dan Lindberg merupakan integrasi politik, dimana Haas mengemukakan lebih lanjut tentang sejumlah proses dan variable yang diperlukan, agar satu kesatuan ekonomi dapat berkembang menjadi suatu kesatuan politik. Lihat Ernst Haas dan Leon N. Lindberg dalam James K. Dougherty dan Robert L. Pfaltegraff Jr, Contending Theories of International Relations, New York and Row Publisher, 1981, hlm. 421,  432-433.
[28] Trevor Taylor, Approaches and Theory in International Relations, New York: Longman Inc. 1978, hlm.237.
[29] James K. Daugthery, Op.Cit, hlm. 417-418.
[30] Bella Ballasa, Op.Cit, hlm.60-61.