Latar
Belakang
Association
of Southeast Asian Nations (ASEAN) yang pada awal
pembentukannya pada tahun 1967,[1]
lebih ditujukan pada kerjasama yang berorientasi politik untuk mencapai
perdamaian dan keamanan di kawasan Asia Tenggara, dalam perjalanannya berubah
menjadi kerjasama regional dengan memperkuat semangat stabilitas ekonomi dan
sosial di kawasan Asia Tenggara, antara lain melalui percepatan pertumbuhan
ekonomi, kemajuan sosial dan budaya dengan tetap memperhatikan kesetaraan dan
kemitraan, sehingga menjadi landasan untuk terciptanya masyarakat yang
sejahtera dan damai.
Sejak awal didirikan
ASEAN bercita-cita mewujudkan Asia Tenggara bersatu sehingga keanggotaan ASEAN
terus mengalami perluasan menjadi sepuluh negara anggota yaitu Filipina, Indonesia, Malaysia,
Singapura, Thailand, Brunei Darussalam tahun 1984, Vietnam tahun 1995, Laos
tahun 1997, Myanmar tahun 1997, dan Cambodia tahun 1999. Pada saat yang
bersamaan kawasan Asia Tenggara menghadapi persoalan-persoalan baru yang muncul
baik secara internal maupun eksternal.
Pada tahun 1990-an,
terdapat 3 dinamika eksternal yang mempengaruhi perkembangan ASEAN:[2]
1.
Kondisi eksternal perekonomian dunia
yang semakin terbuka seiring era globalisasi sepanjang dekade 1980-an juga
berimbas pada perekonomian negara-negara ASEAN. Di tengah iklim perekonomian
global yang semakin liberal dengan hambatan perdagangan dunia yang semakin
berkurang mendorong negara-negara ASEAN untuk menyesuaikan diri. Era proteksi
industri substitusi impor ASEAN telah berlalu. Negara-negara ASEAN mulai
melakukan penyesuaian terhadap orientasi kebijakan perdagangan yang semula
berorientasi ke dalam menjadi keluar. Hasilnya, industri manufaktur ASEAN
semakin berkembang dan memiliki peran yang sangat penting dalam struktur ekspor
ASEAN. Seiring dengan itu tumbuh pula perdagangan intra-industri di ASEAN.
Tuntutan untuk melakukan liberalisasi perdagangan di ASEAN juga tidak terlepas
dari tekanan dunia internasional, khususnya IMF dan Bank Dunia.[3]
2.
Perkembangan ekonomi dunia lainnya pada
tahun 1990-an yang juga mewarnai perjalanan ASEAN adalah bangkitnya
perekonomian China. Dengan jumlah penduduk China yang besar dan dengan
produktifitas yang tinggi, menjadi ancaman bagi ASEAN terutama sebagai pesaing
dalam menarik investor asing dan tujuan pasar. Perlahan, beberapa investasi
asing yang selama ini berada di ASEAN mulai melirik potensi China tersebut,
yang dalam beberapa hal juga telah melakukan relokasi industri ke China. Di
samping itu integrasi ekonomi yang terjadi di Eropa (Economic Union) dan Amerika Utara (NAFTA) juga menjadi ancaman
tersendiri bagi ASEAN yang menyebabkan kekhawatiran akan terjadinya pengalihan perdagangan dan investasi dunia dari ASEAN ke
kawasan tersebut.[4]
Pengaruh
kekuatan ekonomi China tersebut semakin meningkat setelah China bergabung
menjadi anggota World Trade Organization
(WTO) pada tahun 2001.[5]
Pertumbuhan ekonomi yang cepat dari China tersebut membuka peluang bagi
negara-negara di kawasan ASEAN mendapatkan akses pasar, teknologi, dan
informasi dari negara-negara yang lebih maju. Peluang-peluang ini hanya akan
dapat diraih jika ASEAN memiliki daya saing yang tinggi. Negara-negara ASEAN
harus meningkatkan daya saing mereka antara lain dengan mengintegrasikan
perekonomian Asia Tenggara menjadi satu entitas ekonomi yang secara kualitas
dan kwantitas dapat bersaing di pasar internasional. Globalisasi perdagangan
mengakibatkan liberalisasi lintas barang dan jasa menjadi tidak terbatasi.
Dalam hal ini faktor tersebut bisa dimanfaatkan oleh China sehingga
mengakibatkan kedua negara tersebut menjadi pionir di dalam perdagangan
Internasional khususnya dikawasan Asia.[6]
Ekonomi China
tumbuh begitu cepat dalam perdagangan global dan manufaktur. Antara 1985-2003,
Pertumbuhan ekonomi riil China tumbuh secara konsisten yaitu dengan rata-raa
pertumbuhan 9% setiap tahunnya. Pada 2004, pangsa perdagangan global Cina
mencapai sekitar 6%. Pada tahun 2005, China sudah melesat melampaui sebagian
besar negara Eropa dalam ukuran ekonomi, dan mengambil alih peran Jepang
sebagai pedagang tingat dunia.[7]
China berusaha
untuk memperluas kehadiran dan pengaruh strategis terhadap lingkungan dekat
mereka sebagai akibat terhadap pertumbuhan kekuatan ekonomi mereka. Keduanya
mencari keterlibatan peran yang lebih luas dengan negara lain baik secara
regional maupun global. Minat China di Asia Tenggara didorong oleh pengejaran
kepentingan dan memperoleh keuntungan. Dengan kekuatan yang sedang meningkat,
China mencari peluang yang lebih besar melalui multilateralisme dan kerjasama
regional. Mereka melihat ASEAN dan Negara-negara Asia Tenggara penting untuk
kepentingan strategis mereka terutama dalam hal perdagangan dan investasi. Keterlibatan
dan partisipasi dalam proses regional seperti ASEAN, Asia-Europe
Meeting (ASEM), Forum Regional ASEAN (ARF), ASEAN Plus Tiga (APT) dan KTT
Asia Timur (EAS) adalah sangat penting dengan tujuan untuk memperoleh manfaat
dari kerjasama regional, membangun
kekuatan yang lebih besar, memainkan peranan, serta menjaga keseimbangan.
Hubungan dialog
antara ASEAN dan China dapat ditelusuri kembali ke tahun 1991 ketika China
pertama kali menghadiri sesi pembukaan 24th Pertemuan se-Tingkat
Menteri negara-negara ASEAN (AMM) di Kuala Lumpur, Malaysia, sebagai tamu
Pemerintah Malaysia. Selanjutnya, China menjadi mitra konsultatif dan kemudian
mitra dialog penuh pada ertemuan se-Tingkat Menteri negara-negara ASEAN (AMM)
Ke-29th pada bulan Juli 1996 di Jakarta, Indonesia.[8]
3.
Kesepakatan integrasi regional (RIAs)
telah menjadi isu penting dalam ranah integrasi ekonomi. Dalam integrasi
ekonomi akan dijumpai dua kepentingan yang saling berlawanan yaitu antara
mendorong perdagangan dan membatasi perdagangan pada saat bersamaan. Integrasi
ekonomi dilakukan dengan melakukan liberalisasi perdagangan antara negara yang
berpartisipasi dalam integrasi, namun pada saat yang sama juga meneraapkan
berbagai hambatan baik tarif maupun non-tarif kepada negara ketiga atau negara
diluar anggota. Kebijakan liberalisasi maupun kesepakatan integrasi tersebut
digunakan sebagai alat untuk mendapatkan akses pasar yang lebih luas dan
mendorong pertumbuhan dalam rangka meningkatkan kemakmuran. Didasari keyakinan
tersebut, sekaligus untuk memperkuat daya saing
kawasan dalam menghadapi kompetisi global dan regional, negara-negara di
kawasan Asia Tenggara yang tergabung dalam forum ASEAN telah menyepakati untuk
meningkatkan proses integrasi diantara mereka melalui pembentukan ASEAN Economic Community (AEC) atau Masyarakat
Ekonomi ASEAN (MEA) 2015.
Peningkatan ekonomi
Cina juga telah mendorong ulang realisasi untuk negara-negara ASEAN agar mereka
dapat merestrukturisasi dan mengintegrasikan ekonomi dalam rangka untuk
mempertahankan daya saing mereka. Kehilangan daya saing ekonomi terhadap negara
seperti China telah menjadi pendorong utama dalam upaya ASEAN untuk mempercepat
integrasi ekonomi. Suatu studi mengenai ASEAN yang dilakukan oleh McKinsey and
Co. beberapa tahun lalu menemukan bahwa ASEAN telah kehilangan daya saing ke
China.[9]
Ini menjadi semakin jelas dalam beberapa tahun terakhir, seperti China menyusul
ASEAN sebagai negara berkembang peringkat utama untuk penanaman modal asing
langsung (FDI). Sementara itu, jaringan produksi internasional dan rantai pasokan
global berpikir ulang untuk memperhitungkan ekspansi ekonomi dan
industrialisasi China yang tumbuh dengan pesat. Perkembangan tersebut akan
berakibat serius pada kesejahteraan ekonomi ASEAN dalam jangka panjang jika
ASEAN tetap tidak kompetitif.[10]
ASEAN sendiri secara
intensif dari awal pembentukannya telah meyepakati berbagai macam kesepakatan
dalam bidang ekonomi seperti, Indusrtial
Project Plan (1976), Preferential
Tarding Area/PTA (1977), ASEAN Industial
Complement Scheme (1981), ASEAN Joint
Venture Scheme (1981) dan Enhanced
Preferential Trading Arrengement (1987). Pada akhir 90-an, Negara-negara
ASEAN menyadari bahwa cara terbaik dalam kerjasama ekonomi adalah membuka
perekonomian mereka untuk menciptakan integrasi kawasan.[11]
ASEAN kemudian menyepakati ASEAN Vision 2020 pada tahun 1997 untuk mewujudkan
kawasan yang stabil, makmur dan berdaya saing tinggi dengan membangun ekonomi
yang merata.[12]
Rencana jangka panjang
pembentukan Masyarakat ASEAN ini terdiri dari tiga pilar, yaitu ASEAN Economic Community (AEC), ASEAN Security Community (ASC), dan ASEAN Sosio-Cultural Community (ASCC).
Dari sisi kerjasama ekonomi, visi tersebut diwujudkan melalui strategi
pengembangan ekonomi yang sejalan dengan aspirasi bangsa, dengan tujuan utama
mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan dan merata, serta mendukung
ketahanan individu negara anggota maupun kawasan. Konsep pelaksanaan dalam enam
tahun pertama dipandu dengan Hanoi Plan
of Action (HPA) yang dikeluarkan pada 1998.
Untuk memperkuat
langkah percepatan percepatan integrasi tersebut, ASEAN melakukan kerjasama
ekonomi dengan meletakkan sebuah kerangka hukum yang menjadi basis komitmen
negara ASEAN melalui penandatanganan Piagam ASEAN (ASEAN Charter) pada KTT ASEAN ke-13, 20 November 2007. Bersamaan
dengan penandatangan Piagam ASEAN, cetak biru yang merupakan arah panduan MEA
dan jadwal strategis tentang waktu dan tahapan pencapaian pilar juga
disepakati. Selanjutnya komitmen tersebut menjadi arah pencapaian MEA ke depan
baik bagi ASEAN secara kawasan maupun individu negara anggota. Masing-masing
negara berkewajiban menjaga komitmen tersebut sehingga kredibilitas ASEAN
semakin baik di masa depan. Secara khusus ASEAN bertekad akan mengamankan
kepentingan bersama yang dilakukan secara berkesinambungan dalam mengantisipasi
pembentukan kelompok ekonomi negara-negara maju, terutama dengan mendorong
pembentukan kawasan ekonomi terbuka dan merangsang kerjasama ekonomi di kawasan
ASEAN.
Dalam bidang ekonomi
telah ditandatangani dua buah dokumen penting yang akan menjadi dasar bagi
perkembangan ekonomi ASEAN di masa mendatang. Kedua dokumen yang ditandatangani
oleh para menteri ekonomi ASEAN adalah Framework
Agreement on Enchanging ASEAN Economic Cooperation and Basic Agreement on the
Common Effective Preferential Tariff for the ASEAN Free Trade Area
(CEPT-AFTA). Framework kerjasama ini
merupakan landasan baru bagi perekonomian ASEAN terutama kesepakatan untuk
membentuk perdagangan bebas hambatan ASEAN yang berlaku penuh pada tahun 2008.[13]
Melalui Cetak Biru Masyarakat Ekonomi ASEAN, persetujuan CEPT-AFTA akan dikaji
ulang dan ditingkatkan menjadi suatu perjanjian yang komprehensif dalam
merealisasikan aliran bebas barang, serta dapat diterapkan sesuai kebutuhan
ASEAN untuk mempercepat proses integrasi ekonomi menuju tahun 2015.[14]
China telah tampil
sebagai the new miracle of Asia,
sejajar dengan negara-negara the big economic of Asia seperti Jepang,
Singapura, Korea Selatan, Taiwan, dan Hongkong, yang pernah disebut-sebut
sebagai pusat keajaiban ekonomi Asia. Dalam pertemuan ASEAN
di Phnom Penh, Kamboja, 2 September 2003, para politisi China coba mendekati
negara-negara ASEAN dan menyampaikan keinginannya bergabung dengan AFTA
sehingga menjadi ASEAN Plus Three.
ASEAN sejak awal tahun 2003 telah menjadikan AFTA sebagai Kawasan Perdagangan
Bebas ASEAN. Potensi pasar ASEAN sendiri termasuk besarkarena didukung 530 juta
penduduk yang memiliki tingkat daya beli yang cukup tinggi, dan beberapa
negara, di antaranya Malaysia, Thailand, Indonesia, dan Filipina, mulai bangkit
dari krisis ekonomi yang mereka alami tahun 1997.[15]
Presiden
Hu Jianto menyatakan “bahwa strategi baru perekonomian China adalah bagaimana
menjadikan China sebagai pusat produksi, sedangkan distribusi dan konsumsi
diupayakan diserahkan sepenuhnya ke pasar-pasar internasional dan ASEAN
merupakan kawasan yang diprioritaskan China menjadi target utama barang-barang
produksinya”.[16]
Rumusan
Permasalahan
Dari
latar belakang diatas, maka penulis merumuskan permasalahan dalam bentuk
pertanyaan penelitian sebagai berikut: “Bagaimana upaya ASEAN membentuk Asean
Economic Community sebagai langkah penyeimbang dominasi ekonomi China di Asia
Tenggara?
Tujuan
Penelitian
Penelitian ini
bertujuan untuk memberikan gambaran yang jelas mengenai proses pembentukan
ASEAN Economic Community, langkah-langkah
ASEAN dan dampak kebangkitan ekonomi China di ASEAN.
Manfaat
Penelitian
a.
Mengetahui tujuan dibentuknya ASEAN Economic Community dan proses
pembentukannya AEC tersebut serta dapat mengetahui dampak dari kebangkitan
ekonomi China di ASEAN.
b.
Dapat memberikan pengetahuan dan
menambah wawasan mengenai pembentukan AEC dan pengaruh kebangkitan ekonomi
China di Asia Tenggara.
c.
Secara akademis, penelitian ini
diharapkan dapat membantu program studi Hubungan Internasional dalam memberikan
informasi dan data yang terkait permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini.
Seperti mengenai ASEAN, AEC dan pengaruh China di Asia Tenggara.
Tinjauan
Pustaka
China’s
Development and Prospect of ASEAN-China Relations, Vietnamese Academy of Social Sciences Centre
for ASEAN and China Studies (CACS) tahun 2006. Dalam tulisan ini menjelaskan
tentang sejarah perkembangan kemajuan ekonomi China dan hubungan dialog
yaang terjadi antara China dan ASEAN
semenjak pertama kalinya ketika China hadir sebagai tamu Pemerintah Malaysia
dalam Pertemuan Menteri-Menteri ASEAN
(AMM) ke-24 di Kuala Lumpur sampai terbentuknya hubungan kerjasama
antara kedua negara. Tulisan ini nantinya akan berguna untuk menjelaskan
mengenai awal dari kedekatan China di ASEAN yang dibahas dalam bab II sesuai
dengan gambaran dalam sistematika penulisan.
Selanjutnya, dalam tulisan
yang berjudul “The ASEAN Community:
Unblocking the Roadblocks”, Institute of Southeast Asean Studies Singapore,
2008. Tulisan ini menjelaskan mengenai perkembangan semenjak ASEAN dibentuk,
dibutuhkan integrasi ekonomi ASEAN yang lebih mendalam. Hal ini hanya dapat
diwujudkan jika ASEAN mempunyai cetak biru dalam mewujudkan dan meningkatkan
kerjasama ekonomi regional ASEAN yaitu Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015.
Pembahasan yang dibahas dalam tulisan ini nantinya akan menjadi bahan penulis
dalam pembahasan mengenai awal mula gagasan pembentukan Asean Community dan
alasan dari ASEAN membentuk AEC yang akan dibahas pada bab II.
Dalam tulisan
selanjutnya berjudul “Menuju Komunitas
ASEAN 2015: dari state oriented ke people oriented” yang ditulis oleh Ratna
Shofi Inayati, Dewi Fortuna Anwar dan Ikrar Nusa Bhakti tahun 2007, yang membahas
mengenai proses menuju masyarakat ASEAN 2015, sejalan dengan aspek ekonomi
dalam ASEAN Vision 2020. Bagaimana cara merubah ASEAN dari a state oriented ke people
oriented perlu untuk memfokuskan pada masyarakat ASEAN karena hal ini
sering terabaikan dalam pembahasan tentang aktivitas ASEAN. Kualitas proses
pembangunan di Asia Tenggara tidak hanya tergantung pada ruang lingkup dan
keadaan dari upaya kerjasama diantara dan pemerintahan regional, tetapi juga
pada tujuan moral yang mengarahkan dan memelihara proses tersebut. Sangat
penting bagi ASEAN untuk memulai kesepakatan guna melangkah secara nyata dengan
jadwal yang jelas untuk mengimplementasikan ASEAN Community. Tulisan ini akan digunakan sebagai salah satu bahan pada
bab III untuk menjelaskan kesiapan ASEAN membentuk suatu community di Asia Tenggara dan bagaimana langkah ASEAN untuk
menciptakan AEC di kawasan.
Kerangka
Teori
Penelitian ini
menggunakan kerangka teori dan konseptual dalam kajian ilmu ekonomi politik
internasional yang menekankan pada konsep-konsep dalam perdagangan
internasional, yaitu kerangka kerjasama regional dan integrasi regional.
Dalam strategi
perdagangan internasional mengenai global
market dan regionalisasi ekonomi dijelaskan bahwa dampak yang paling terasa
terbentuknya pasar global adalah munculnya regionalisasi ekonomi. Dengan
semaikin abu-abunya batas Negara, perekonomian regional akan naik ke permukaan.
Kenichi Ohmae juga menjelaskan bahwa kawasan yang dulunya dianggap sebagai
‘perkumpulan Negara berkembang’ yang hanya dimanfaatkan oleh Negara-negara maju
didalam perdagangan internasional, seperti Asia justru pada era global akan
memegang supremasi atas kawasannya sendiri.[17]
Kerjasama
Regional
Menurut Kym Anderson
dan Richard Blackhurst, kerangka kerjasama regional (regional arrangement) dapat didefinisikan sebagai suatu proses
untuk mengurangi otoritas politik nasional dalam suatu wilayah geografis
tertentu.[18]
Secara akademik tidak terdapat perspektif tunggal yang dapat diterima secara
luas untuk menjelaskan motif-motif kerjasama regional. Marry Farrel misalnya,
menyatakan bahwa terdapat dua premis dasar untuk memahami regionalisme.
Pertama, regionalisme dipandang sebagai tanggapan terhadap globalisasi dan juga
suatu reaksi terhadap aspek-aspek yang sangat beragam dari proses globalisasi. Kedua,
regionalisme dipandang sebagai produk dari dinamika internal dari suatu kawasan.[19]
Menurut Lamberte,
regionalisme mengacu pada kerjasama ekonomi formal dan pengaturan ekonomi dari
sekelompok negara yang bertujuan untuk memfasilitasi atau meningkatkan
integrasi regional.[20] “Regionalisme
harus dibedakan dari regionalisasi, dimana "integrasi yang didorong pasar,
didorong oleh sepihak reformasi dalam perekonomian individu dalam suatu wilayah
tertentu”.[21]
Berdasarkan literatur, regionalisasi juga mengacu pada tindakan membangun
regionalisme melalui publik dan / atau usaha resmi. Menurut
“Dictionary of Trade Policy”, regionalisme
digambarkan sebagai tindakan oleh pemerintah untuk meliberalisasi atau
memfasilitasi perdagangan secara regional, baik itu melalui area perdagangan
bebas atau serikat pekerja.[22]
Berdasarkan penjelasan tersebut maka, regionalisme ekonomi kira-kira dapat
dipahami sebagai: a). langkah-langkah kerjasama ekonomi formal; b). dilakukan
oleh pemerintah; c). memfasilitasi integrasi ekonomi regional; d). terbatas
pada wilayah geografis. Dengan kata lain, regionalisme sekarang dapat secara
luas dicirikan sebagai kecenderungan penciptaan pengaturan perdagangan
preferensial antara jumlah negara yang terletak di tempat yang sama atau bahkan
daerah yang berbeda.
Namun, proses
liberalisasi perdagangan ini sangat berbeda dari proses yang dikendalikan pasar
yang menjadi ciri khas kawasan di masa lalu. Sampai akhir 1990-an, peningkatan
ekonomi yang bersifat saling ketergantungan (sebagai akibat dari pertumbuhan
perdagangan intra-regional dan investasi) di kawasan berlangsung tanpa kerangka
formal kerjasama ekonomi. Tren baru FTA adalah preferensial di bidang dan
tempat-tempat yang lebih menekankan pada kerjasama ekonomi formal melalui
perjanjian perdagangan antara dua Negara atau lebih.[23] Langkah
terbaik bagi ASEAN dalam menghadapi kebangkitan China sebagai kekuatan besar
(ekonomi) yang mempunyai kepentingan strategis di kawasan adalah dengan
mengembangkan regionalisme multilateral melalui berbagai forum seperti ARF,
ASEAN Plus Three (APT), dan East ASEAN Summit. Langkah ini dimaksudkan untuk
membentuk suatu regionalisme terbuka insklusif (Open Regionalism) atas kerjasama fungsional.[24]
Regionalisme terbuka sendiri
adalah bagian integral dari keberhasilan RTAs yang merupakan blok pembangun
sistem perdagangan multilateral. "Regionalisme terbuka" didefinisikan
sebagai memiliki karakteristik sebagai berikut: 1). Keanggotaan terbuka, dengan
keanggotaan diperluas, yang didasarkan pada hubungan timbal-balik; 2). Komitmen
anggota untuk menurunkan hambatan perdagangan eksternal sementara liberalisasi
perdagangan secara internal pada dasar hubungan timbal-balik; 3). Dorongan
untuk melakukan liberalisasi unilateral oleh anggota kepada anggota lain atau
bukan anggota.[25]
ASEAN
sendiri telah menjadi pelopor hubungan dialog dengan sejumlah negara, termasuk
Cina. Dan saat ini ASEAN lebih terbuka untuk berinisiatif membangun mitra
dialog dalam kerja sama ekonomi dan sosial. Dalam bidang ekonomi, Cina dapat
dihubungkan dengan AFTA melalui fasilitasi perdagangan.
ASEAN juga mencermati
fakta ini dan sadar bahwa hal tersebut menjadi alasan yang logis untuk
memasukkan China dalam kerangka regional dan dengan demikian, ASEAN dapat memanfaatkan
keuntungan dari bangkitnya kekuatan ekonomi China tersebut. Salah satu tujuan
dari Perjanjian Kerangka Kerjasama Ekonomi Komprehensif yang ditandatangani
adalah untuk “memfasilitasi integrasi ekonomi yang lebih efektif dari
negara-negara anggota ASEAN yang baru dan menjembatani kesenjangan pembangunan
di antara kedua belah pihak”.
Integrasi
Regional
Dalam integrasi ekonomi
sendiri Bela Balassa, dalam Teori Integrasi Ekonomi, mendefinisikan integrasi
ekonomi sebagai suatu proses dan keadaan: "Dianggap sebagai proses, hal
itu meliputi tindakan yang dirancang untuk menghapus diskriminasi antara
unit-unit ekonomi milik negara nasional yang berbeda; dipandang sebagai suatu
keadaan, dapat diwakili oleh tidak adanya berbagai bentuk diskriminasi antara
ekonomi nasional".[26]
Sedangkan Ernst Haas
mendefinisikan integrasi sebagai suatu proses, yang mana dalam proses ini
aktor-aktor politik dalam beberapa Negara dialrahkan pada kegiatan politik yang
baru. Berdasrkan definisi Ernst Haas tersebut, Leon N. Lindberg menyimpulkan
integrasi sebagai:
1.
Proses tempat melepaskan keinginan dan
kemampuan untuk menjalankan kebijakan dalam negeri dan luar negeri secara bebas
satu sama lain, dan sebaliknya mencari keputusan-keputusan bersama dalam proses
pembuatan kebijakan pada tempat yang baru.
2.
Tempat proses actor-aktor dari beberapa
Negara yang berbeda untuk mengalihkan harapan dan kegiatan-kegiatan pada tempat
yang baru.[27]
Dengan
demikian, integrasi regional merupakan suatu kecenderungan kea rah terciptanya
unit-unit politik yang masing-masing dengan sadar meninggalkan penggunaan
kekuatan dalam hubungan tersebut.[28]
Terdapat dua hal yang menyebabkan terjadinya integrasi regional yaitu:[29]
1.
Adanya nilai-nilai yang diterima secara
meluas diantara anggota dan persetujuan umum mengenai kerangka kerja sistem.
2.
Karena adanya ancaman dari luar kawasan.
Sementara
itu, Hoffman membedakan integrasi regional dalam dua kelompok, yaitu:
1.
Interaksi antar variable dari dalam
integrasi (sesame Negara anggota) dengan variable dari luar (situasi
internasional) disebut dengan dengan sebutan high politics.
2.
Kepentingan-kepentingan umum dari
startegi dan diplomasi suatu Negara menjadi dasar suatu pembentukan dan
interaksi dilihat sebagai suatu kepentingan yang dapat dihitung secara ekonomis
dan mewakili satu dimensi saja dari kehidupan antar bangsa, disebut dengan
sebutan low politics.
Suatu
Negara yang telah berhasil melakukan intgerasi di suatu sector cenderung untuk
melakukannya lagi di sector-sektor lain. Hal ini terjadi karena Negara
menikmati hasil dari manfaat integrasi tersebut. Adapun bentuk-bentuk dari
intgerasi ekonomi adalah free trade area,
customs union, common market, economic union, completes economic integration. Sedangkan
kerjasama regional yang tidak bertujuan langsung mengintgrasikan pasar dan
perekonomian Negara-negara anggotanya adalah merupakan organisasi kerjasama
ekonomi regional (regional economic
cooperation).[30]
Alur
Pemikiran
Sejarah
hubungan ASEAN-China sampai kerjasama ekonomi dan proses pembentukan AEC
|

Langkah-langkah dan upaya ASEAN
untuk mewujudkan AEC
|

Dampak kebangkitan ekonomi China terhadap
ASEAN dalam kerjasama ekonomi dan proses integrasi AEC
|
Operasionalisasi
Konsep
Konsep
|
Variabel
|
Dimensi
|
Indikator
|
Kerjasama Regional
|
Pembentukan ASEAN Economic Community
|
- Langkah-langkah
pembentukan AEC
|
- AEC
Blueprint
- Kerjasama
ekonomi dengan China
- Dampak
kebangkitan ekonomi China di kawasan
|
Metode
Penelitian
Penelitian ini
menggunakan pendekatan kualitatif yaitu pendekatan yang menekankan pada
penarikan kesimpulan berdasarkan interpretasi terhadap fenomena maupun fakta.
Adapun metode penelitian yang digunakan adalah metode studi kasus yang
menggunakan teori untuk menganalisa dan menjawab permasalahan dan teknik
pengumpulan data yang digunakan adalah penelitian kepustakaan (library research) dengan mengumpulkan
data-data berupa buku, jurnal atau artikel, internet dan referensi dari
penelitian lain yang sejenis.
Asumsi
Dalam
penulisan skripsi ini penulis berasumsi bahwa
a.
Alasan pembentukan AEC adalah sebagai
penyeimbang terkait kebangkitan ekonomi China di Asia Tenggara.
b.
ASEAN melakukan kerjasama ekonomi dengan
China untuk mempercepat proses intgrasi ekonomi Negara-negara anggota ASEAN.
Sistematika
Penulisan
Bab I
berisi mengenai latar belakang proses terbentuknya Asean Economic Community dan
awal terjalinnya kerjasama antara ASEAN dengan China, rumusan permasalahan,
tujuan penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori, metode penelitian serta
sistematika penulisan.
Bab II
menjelaskan mengenai sejarah hubungan ASEAN-China dari tahun 1991 sampai 2010
dan langkah-langkah dan upaya ASEAN mewujdkan AEC.
Bab III
menjelaskan mengenai kemajuan ekonomi China, kerjasama FTA ASEAN-China dan dampak
kebangkitan ekonomi China di ASEAN terkait dalam pembentukan AEC.
Bab
IV
berisikan kesimpulan dari seluruh bab.
DAFTAR
PUSTAKA
Buku
dan Dokumen Resmi
ASEAN
Document Series 1967-1985, ASEAN Secretariat, Jakarta, 1985.
Anderson,
Kym dan Richard Blackhurst, “Introduction
and Summary”, Regional Integration and The Global Trading System, Harvester
Wheatsheaf, 1993.
A.
Schwartz
dan R. Villinger, “Integrating Southeast
Asian Economies”, The McKinsey Quarterly, No. 1 (2004).
Ballassa,
Bella, The Theory of Economic Integration,
Homewood, Illinois: Richard D. Irwin Inc. 1961.
Chuvyers,
Ludo dan Wisarn Pupphavesa. 1996. From
ASEAN to AFTA, CAS Discussion Paper No. 46.
Cetak
Biru Komunitas ekonomi ASEAN, yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Kerjasama
ASEAN-DEPLU RI, 2009.
Engardio,
Pete, “CHINDIA; Strategi China dan India menguasai Bisnis Global”, Penerbit PT
Bhuana Ilmu Populer, 2007.
Farrel
dan Bjorn Hettne (eds), Global Politics
of Regionalism, London: Pluto Press, 2005.
Hew,
Denis, Toward an ASEAN Economic by 2015,
dalam The ASEAN Community: Unblocking the
Roadblocks, Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS), Singapore, 2008.
James
K. Dougherty dan Robert L. Pfaltegraff Jr, Contending
Theories of International Relations, New York and Row Publisher, 1981.
Lamberte,
Mario B., “An Overview of Economic
Cooperation and Integration in Asia” in
Asian Development Bank, Asian Economic Cooperation and Integration: Progress,
Prospects, and Challenges, Manila: Asian Development Bank, 2005.
Naya,
S. dan Imada, P. (Eds). 1992. AFTA the
Way Ahead, ISEAS, Singapore.
Ohmae,
Kenichi, The End of the Nation State: The
Rise of Regional Economies, London: Harper Collins Publ. 1995.
Soesastro,
Hadi dan Clara Joewono (eds), The
Inclusive Regionalist, Centre For Strategic And International Studies
(CSIS), Jakarta, Indonesia, 2007.
Soesastro,
Hadi, Implementing the ASEAN Economic
Community Blueprint, dalam The ASEAN
Community: Unblocking the Roadblocks, Institute of Southeast Asian Studies
(ISEAS), Singapore, 2008.
Taylor,
Trevor, Approaches and Theory in
International Relations, New York: Longman Inc. 1978.
Thongphane
Savanphet, ASEAN-China Dialogue
Relations: Present and Future, dalam
China’s Development and Prospect
of ASEAN-China Relations (Summary
Record of the Regional Seminar), by The Gioi Publishers, Vietnam, 2006.
Yusuf,
Edi, dalam seminar Komunitas Ekonomi
Asean 2015 dan Implikasinya bagi Indonesia, Departemen Luar Negeri RI, di
Universitas Indonesia, Jakarta, 12 Februari 2009.
Website
Financial Times, dikutip oleh Chalmers Johnsons. “No Longer the ‘Lone”Superpower: Coming to
Terms with China”. Japan Policy Research Institute Working Paper No.105,
Maret 2005. http:www.jpri.org/publications/working papers/wp 105.
C.
Fred Bergsten, “Open Regionalism” Working
Paper 97-3 (Washington D.C.: Institute for International Economics, 1997),
online: http://www.iie.com/publications/wp/wp.cfm?ResearchID=152.
[1]
ASEAN yang
resmi terbentuk pada tanggal 8 Agustus 1967
di Bangkok, Thailand adalah merupakan kerjasama regional didirikan oleh lima
negara di kawasan Asia Tenggara yaitu; Filipina, Indonesia, Malaysia, Singapura
dan Thailand berdasarkan kesepakatan ”Deklarasi Bangkok” (ASEAN Declaration,
Bangkok, 8 Agustus 1967), yang ditandatangani secara bersama-sama dan isinya sebagai berikut : ”Membentuk suatu
landasan kokoh dalam meningkatkan kerjasama regional di kawasan Asia Tenggara
dengan semangat keadilan dan kemitraaan dalam rangka menciptakan perdamaian, kemajuan
dan kemakmuran kawasan (ASEAN Document
Series 1967-1985, ASEAN Secretariat,
Jakarta, 1985, hlm. 2).
[2]
Edi Yusuf, dalam
seminar Komunitas Ekonomi Asean 2015 dan
Implikasinya bagi Indonesia, Departemen Luar Negeri RI, di Universitas
Indonesia, Jakarta, 12 Februari 2009.
[3]
Naya, S. Dan Imada, P.
(eds). 1992. AFTA the Way Ahead,
ISEAS, Singapore.
[4]
Chuvyers, Ludo dan Wisarn
Pupphavesa. 1996. From ASEAN to AFTA, CAS
Discussion Paper No. 46.
[5]
Financial Times, dikutip
oleh Chalmers Johnsons. “No Longer the ‘Lone”Superpower:
Coming to Terms with China”. Japan Policy Research Institute Working Paper
No.105, Maret 2005. http:www.jpri.org/publications/working papers/wp 105.
[6]
Ibid
[7]
Pete Engardio, “CHINDIA;
Strategi China dan India menguasai Bisnis Global”, Penerbit PT Bhuana Ilmu
Populer, 2007, hlm. vii-viii.
[8]
Thongphane Savanphet, ASEAN-China Dialogue Relations: Present and
Future, dalam China’s Development and Prospect of ASEAN-China Relations (Summary Record of the Regional Seminar),
by The Gioi Publishers, Vietnam, 2006. Hlm. 33.
[9]
A. Schwartz dan R.
Villinger, “Integrating Southeast Asian
Economies”, The McKinsey Quarterly, No. 1 (2004).
[10]
Denis Hew, Toward an ASEAN Economic by 2015, dalam The ASEAN Community: Unblocking the
Roadblocks, Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS), Singapore, 2008.
Hlm. 16.
[11] Pada KTT ke-5 di Singapura tahun
1992 telah ditandatangani Framework
Agreement Enchancing ASEAN Economic Cooperation bersama dengan Common
Effective Preferential Tariff – AFTA Free Trade Area (CEPT – AFTA) (dalam skema
CEPT setiap Negara dimungkinkan untuk tidak melakukan liberalisasi perdagangan
sepanjang hal tersebut menurut pertimbangannya dapat membahayakan keamanan
nasionalnya, moral masyarakat, kesehatan manusia, hewan dan tanaman, dan nilai-nilai
seni, sejarah, purbakala dan arkeologi, dikutip dari Syamsul Arifin), kemudian
pada tahun 1995 ASEAN juga mulai memasukkan bidang jasa dalam kesepakatan
kerjasamanya dalam ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS) selanjutnya
pada tahun 1998 disepakati kerjasama dalam bidang investasi dalam ASEAN
Investment Area (AIA).
[12] ASEAN Summit, Kuala Lumpur,
Malaysia, Desember 1997.
[13]
Lihat framework Agreement on Enchanging economic Cooperation, Singapore,
1992
[14]
Lihat Cetak Biru Komunitas
ekonomi ASEAN, yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN-DEPLU RI,
2009.
[15] Charles Stein, “The Rise of China Inc”, Boston Globe
(August 19, 2003).
[16] Ibid
[17] Kenichi Ohmae, The End of the Nation State: The Rise of
Regional Economies, London: Harper Collins Publ. 1995, hlm. 4.
[18] Kym Anderson dan Richard
Blackhurst, “Introduction and Summary” dalam Kym Anderson dan Richard
Blackhurst, Regional Integration and The Global Trading System, Harvester
Wheatsheaf, 1993, hlm. 1.
[19] Lebih jauh lihat Marry Farrel, “The Global Politics of Regionalism: An
Introduction”, dalam marry Farrel dan Bjorn Hettne (eds), Global Politics of Regionalism, London:
Pluto Press, 2005, hlm. 120.
[20] Mario B. Lamberte, “An Overview of Economic Cooperation and
Integration in Asia” in Asian
Development Bank, Asian Economic Cooperation and Integration: Progress,
Prospects, and Challenges, Manila: Asian Development Bank, 2005, hlm, 4.
[21] Ibid
[22] “Dictionary of Trade Policy” merupakan istilah yang dikembangkan
oleh WTO, dalam WTO Secretariat, “Scope of RTAs”, online:
www.wto.org/english/tratop_e/region_e/scope_rta_e.htm>.
[23] Denis Hew, Realizing The ASEAN Economic Community by 2015, dalam Hadi
Soesastro dan Clara Joewono (eds), The
Inclusive Regionalist, Centre For Strategic And International Studies
(CSIS), Jakarta, Indonesia, 2007. Hlm. 278.
[24] Hadi Soesastro, Implementing the ASEAN Economic Community
Blueprint, dalam The ASEAN Community:
Unblocking the Roadblocks, Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS),
Singapore, 2008, hlm. 33.
[25] C. Fred Bergsten, “Open Regionalism” Working Paper 97-3
(Washington D.C.: Institute for International Economics, 1997), online:
http://www.iie.com/publications/wp/wp.cfm?ResearchID=152.
[26] Bella Ballassa, The Theory of Economic Integration,
Homewood, Illinois: Richard D. Irwin Inc. 1961, hlm, 1.
[27] Integrasi menurut Haas dan
Lindberg merupakan integrasi politik, dimana Haas mengemukakan lebih lanjut
tentang sejumlah proses dan variable yang diperlukan, agar satu kesatuan
ekonomi dapat berkembang menjadi suatu kesatuan politik. Lihat Ernst Haas dan
Leon N. Lindberg dalam James K. Dougherty dan Robert L. Pfaltegraff Jr, Contending Theories of International
Relations, New York and Row Publisher, 1981, hlm. 421, 432-433.
[28] Trevor Taylor, Approaches and Theory in International
Relations, New York: Longman Inc. 1978, hlm.237.
[29] James K. Daugthery, Op.Cit, hlm. 417-418.
[30] Bella Ballasa, Op.Cit, hlm.60-61.
heloo, mau nanya dong ini judul skripsi lo bukan?
BalasHapus